"Thus, It is not true, that the first two presidents had contradicted each other, they had in truth, supplemented and
complemented each other".
Adalah tidak benar jika kedua Presiden itu (Presiden Soekarno dan Soeharto) saling berlawanan. Keduanya merupakan
suplemen dan komplemen satu dengan lainnya, tulis Retnowati Abdulgani Knapp dalam buku Soeharto, The Life and
Legacy of Indonesia’s Second President.
Buku itu banyak mengungkap bagaimana kedua presiden berperan dalam sejarah Indonesia. Banyak persamaan antara
Bung Karno dan Pak Harto dalam menyikapi masalah-masalah kenegaraan. Mengapa dikesankan berbeda, bahkan
berlawanan?
Pak Harto tidak bermimpi menjadi presiden, bahkan sadar, dirinya tidak memiliki kapasitas sebagai presiden. Karena itu,
saat Pak Harto didesak untuk mengambil alih kekuasaan oleh sebagian pendukungnya yang dikatakan irrational, Pak
Harto tegas menolak dukungan itu.
Dalam filosofi Jawa, yang dipegang teguh Pak Harto, jabatan/ kekuasaan, apalagi jabatan Presiden, hanya bisa diperoleh
jika orang itu dikaruniai "wahyu". Wahyu tidak perlu diturunkan kepadanya, tetapi bisa kepada orang yang dekat dengannya.
Dalam hal kepresidenan Pak Harto, wahyu itu mungkin diturunkan kepada Ibu Tien Soeharto. Karena itu, setelah Ibu Tien
wafat, Pak Harto tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya.
Kesamaan pandangan
Kedua presiden mempunyai mimpi yang sama, yaitu bagaimana mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Bung Karno mewujudkan mimpi lewat upaya memerdekakan rakyat dari penjajah. Pak Harto ingin mewujudkan
mimpi dengan cara sederhana, mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
Perbedaan latar belakang dan lingkungan, baik nasional maupun global, membedakan jalan mewujudkan mimpinya.
Bung Karno berjuang sejak masa penjajahan sehingga untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat harus dimulai dengan
membebaskan bangsa ini dari penjajahan.
Setelah merdeka, Bung Karno mengalami kondisi perang dingin, antara blok Barat dan Timur, di mana pertentangan
ideologi amat mewarnai kondisi nasional dan global. Pak Harto tampil saat perang dingin sudah mereda, bahkan
pengaruh komunisme internasional sudah meredup. Keduanya dilahirkan pada waktu yang tepat dalam perspektif sejarah
Indonesia.
Bung Karno dan pak Harto menghargai demokrasi. Namun, keduanya tidak setuju kebebasan yang begitu luas.
Demokrasi harus disesuaikan dengan keadaan setempat. Karena itu, Bung Karno memperkenalkan "Demokrasi
Terpimpin" dan Pak Harto mengenalkan "Demokrasi Pancasila". Keduanya bersumber pada Pancasila/UUD 1945. Hal ini
terlepas kedua model demokrasi itu dikatakan sebagai otoritarian, setidaknya, sentralistis.
Keduanya amat menghormati pendahulunya, orangtua, sesuai dengan budaya Jawa. "Bangsa yang besar adalah bangsa
yang dapat menghargai pahlawannya," kata Bung Karno. Pak Harto mengamalkannya melalui ajaran mikul dhuwur
mendhem jero. Hal itu tercermin dari sikap Pak Harto yang menolak mengadili Bung Karno dan mengabadikan nama
kedua proklamator tersebut pada Bandara Internasional Cengkareng.
Keduanya mengalami nasib sama. Meski mendapat penghargaan yang amat tinggi, Bung Karno diangkat sebagai
presiden seumur hidup (1963) serta Pak Harto menjadi Bapak Pembangunan dan jenderal bintang lima, keduanya jatuh
dimulai dari demo mahasiswa.
Akan tetapi, di saat kritis, di masa transisi itu, keduanya masih mampu bersikap sebagai negarawan, dengan cara
menghindarkan pertumpahan darah sesama anak bangsa, secara konstitusional, dengan caranya sendiri.
Terakhir, keduanya terserempet isu korupsi. Keterbatasan negara dalam memenuhi anggaran untuk melaksanakan cita-
cita revolusi telah melahirkan dana nonbudgeter bernama "Dana Revolusi". Untuk menutup kekurangan anggaran negara
dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, Pak Harto mendirikan berbagai yayasan. Baik "Dana Revolusi" maupun "Dana
Yayasan" tidak dipersoalkan, bahkan dianggap baik saat keduanya masih menjadi Presiden. Namun, keduanya dianggap
aib saat keduanya tidak menjabat presiden.
Apa yang beda?
Perbedaan pokok di antara keduanya adalah sikap terhadap komunisme. Pak Harto tegas anti- komunis. Karena itu, PKI
harus dibubarkan pasca-G30S sebab PKI dianggap dibelakangnya.
Retnowati menuliskan perbedaan pandangan keduanya melalui percakapan antara Bung Karno dan Pak Harto. Meski
berbeda pandangan, keduanya mempunyai alasan yang bersumber pada kepentingan nasional. Karena itu, keduanya
tidak bisa dipertemukan.
Perbedaan inilah yang mengantar Pak Harto menjadi Presiden kedua Republik Indonesia.
Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus
Sumber: KOMPAS
Thursday, April 18, 2013
Antara Bung Karno dan Pak Harto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment